Judul: Imam Syafi’i
Pejuang Kebenaran
Penulis: Abdul Latip Talib
Penyelaras Bahasa: Wahyu Elvina, S.S.
Penerbit: Emir Cakrawala Islam, imprint dari Penerbit Erlangga
Tebal: 277 halaman
Penulis: Abdul Latip Talib
Penyelaras Bahasa: Wahyu Elvina, S.S.
Penerbit: Emir Cakrawala Islam, imprint dari Penerbit Erlangga
Tebal: 277 halaman
“Tuntutlah ilmu sebanyak mungkin
karena ia akan menjagamu dan membuatmu bercahaya di dunia dan di akhirat.”
Nama lengkapnya Abū ʿAbdullāh
Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i atau yang
lebih dikenal dengan Imam Syafi’i, ulama besar pendiri mazhab Syafi’i. Buku ini
menceritakan kisah hidup dan perjuangan Beliau dalam menegakkan kebenaran.
Imam Syafi’i memiliki garis
kerabat dari Rasulullah Saw dari keturunan al-muththalib, saudara dari Hasyim,
yang merupakan kakek Muhammad.
Imam Syafi’i adalah satu dari
empat imam besar yang riwayat hidupnya wajib dikenal oleh orang Islam. Selain
Syafi’i adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (Mazhab Hambali), Imam Abu
Hanifah (Mazhab Hanifah) dan Imam Malik (Mazhab Maliki). Ke-empat ulama ini
terkenal karena mereka adalah ulama yang bebas, tidak terikat, dan tidak pula
berutang budi kepada siapa pun terutama kepada pemerintah. Keempat mazhab ini
tidak pernah berselisih dalam perkara pokok (ushul) agama karena mereka tetap
berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Keempat ulama besar ini pun
tidak pernah memaksa pengikutnya untuk fanatik pada ajaran mereka tanpa
menyelidiki kebenaran nas (perkataan atau kalimat dari Alquran atau hadis yang
dipakai sebagai alasan atau dasar untuk memutuskan suatu masalah) yang
digunakan dalam memutuskan suatu masalah.
“Setiap perkara yang telah saya
ucapkan jika bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, maka sabda Rasulullah
itu lebih penting untuk ditaati.” ~ Imam Syafi’i.
Mazhab-mazhab ini timbul oleh
karena pada masa itu umat tidak lagi berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis. Untuk
itu lah para imam besar ini muncul untuk memimpin umat islam kembali pada
Al-Qur’an dan Hadis. Keempat mazhab ini berpegang kepada akidah Ahlus Sunah
Waljama’ah.
Imam Syafi’i dilahirkan di Gaza,
Palestina pada bulan Rajab tahun 150 Hijriah. Sejak awal mengandung ibu Imam
Syafi’i, Ummu Habibah selalu membaca surah Yusuf dan surah Luqman. Kedua orang
tua itu berharap agar kelak bayi mereka memiliki paras rupawan dan cerdas.
Harapan itu semakin besar ketika suatu malam si Ibu bermimpi melihat satu
bintang keluar dari perutnya lalu naik ke langit. Kemudian bintang itu pecah
dan jatuh bertaburan ke bumi. Cahaya dari bintang itu menjadikan bumi terang
benderang. Mimpi yang sama dialami juga oleh Idris, sang suami. Harapan
keduanya semakin bertambah ketika orang alim yang pandai dalam ilmu tasfir
mengartikan makna mimpi tersebut. Kelak, anak tersebut akan menjadi seorang
yang berilmu dan ilmunya memenuhi muka bumi. Untuk itu sang tafsir mimpi
mengingatkan agar keduanya menjaga dan mendidik anak itu dengan baik, serta
mengajarkan kepadanya ilmu agama agar ketika dewasa menjadi insan yang berilmu
serta berguna bagi agama, bangsa, dan tanah air.
Ketika di kota Bagdad seorang
ulama besar, Imam Hanifah meninggal, pada saat yang sama Syafi’i dilahirkan di
kota Gaza. Imam Syafi’i dibesarkan dalam keadaan kekurangan. Ayahnya meninggal
di kota Gaza. Sesuai pesan sang suami maka Ummu Habibah pulang kembali ke kota
kelahiran mereka di Mekkah. Karena miskin maka Ummu Habibah tidak mampu
mengirim anaknya belajar, karena itu ia sendiri yang mendidik Syafi’i. Ia pula
yang mengenalkan Syafi’i kepada majelis ilmu yang diadakan secara gratis di
Masjidil Haram. Syafi’i sudah mempelajari al-qur’an dan menghapalnya sejak
berusia sembilan tahun. Pada usia sepuluh tahun ia sudah memahami dan menghapal
kitab Al-Muwatta’ yang dikarang oleh Imam Malik. Ia juga memiliki suara yang
merdu, pandai bersyair dan bersajak.
Karena kepandaiannya pada usia 15
tahun ia telah memberi fatwa dan mengajar orang-orang di Masjid Al-Haram. Imam
Syafi’i sangat gemar belajar, ia haus akan ilmu pengetahuan. Ia pergi ke banyak
tempat untuk belajar dengan para ulama-ulama besar dan menyebarkan ilmu kepada
umat manusia. Imam Syafi’i dikenal sebagai pribadi yang zuhud. Kebaikan hati
dan kepandaiannya memikat banyak orang. Imam Syafi’i meninggal di Mesir pada
usia 54 tahun pada tahun 204 Hijriah.
Apakah jalan hidup Syafi’i
sebagai penyampai kebenaran lancar-lancar saja? Tentu saja tidak. Ia dan
pengikutnya pernah mengalami siksaan berat dan nyaris dihukum mati karena
difitnah oleh kaum mu’tazilah. Ia pun harus menghadapi kebencian dari para
pengikut mazhab lainnya. Namun Imam Syafi’i menghadapi segala rintangan itu
dengan kesabaran dan keikhlasan.
Pesan imam Syafi’i kepada para
pengikutnya: “Sabar dalam menghadapi musibah adalah sebesar-besarnya arti
sabar. Sabar itu memerlukan kesabaran pula. Ada pun celaka dan musibah,
menunjukkan adanya perhatian dan kasih sayang Allah. Oleh karena itu,
bersyukurlah sebab bersyukur yang seperti itu adalah setinggi-tingginya arti
syukur.”
“Siapa yang ingin meninggalkan
dunia dengan selamat, hendaklah ia mengamalkan perkara berikut: mengurangi
tidur, mengurangi makan, mengurangi bicara, dan merasa cukup dengan rejeki yang
ada.”
“Perbanyaklah menyebut Allah
daripada menyebut makhluk. Dan perbanyaklah menyebut akhirat daripada menyebut
dunia.”
“Berbuatlah sebanyak-banyaknya
amal saleh karena itu merupakan dinding dan perisai orang mukmin dan pelindung
dari serangan iblis.”
Imam Syafi’i memberikan sumbangan
besar dalam bidang perundang-undangan agama Islam. Ia juga menyusun tidak
kurang dari 113 buah kitab.
SUMBER
http://buku.enggar.net/
0 komentar:
Posting Komentar