Minggu, 17 April 2016

Resensi Film (NYMPH()MANIAC)


Directed by Lars von Trier ; Produced by Marie Cecilie Gade, Louise Vesth ; Written by Lars von Trier ; Starring by Charlotte Gainsbourg, Stellan Skarsgård, Stacy Martin, Shia LaBeouf, Christian Slater, Uma Thurman, Sophie Kennedy Clark, Connie Nielsen, Jamie Bell, Willem Dafoe ; Cinematography Manuel Alberto Claro ; Edited by Volume I: Morten Højbjerg Both, Volume II: Molly Marlene Stensgaard ; Production company Zentropa Entertainments, Heimatfilm, Film i Väst, Artificial Eye, Les Films du Losange ; Distributed by France: Les Films du Losange, United States: Magnolia Pictures ; Running time Both Volumes: 241 minutes, 325 minutes (Uncut) ; Country Denmark, Belgium, France, Germany ; Language English


Story / Cerita / Sinopsis :


Seorang pria paruh baya bernama Seligman (Stellan Skarsgard) tidak sengaja menemukan seorang wanita yang terkapar di sebuah lorong gelap. Seligman menyelamatkan si perempuan dan membawanya pulang. Ternyata si perempuan itu, yang bernama Joe (Charlotte Gainsbourg / Stacy Marti) adalah seorang pecandu seks. Ia kemudian bercerita mengenai kehidupannya dan bagaimana ia bisa sampai terkapar babak belur di lorong tersebut.

Review / Resensi :

Jadi yang akan saya review di sini semata-mata mengenai film ini sendiri, tanpa bisa membandingkan dengan karya Lars von Trier sebelumnya, seperti Antichrist (2009) yang kontroversial itu, dan Melancholia (2012). Sejujurnya, yang bikin saya penasaran adalah review positif dari banyak orang mengenai film ini, dan jelas karena tema itu sendiri : seks. Lebih tepatnya, seorang wanita yang kecanduan seks. Kurang kontroversial apa coba film ini untuk disaksikan? Dan posternya juga agak parah dan sensasional : menampilkan ekspresi ke-14 pemeran film saat mengalami orgasme (go find it yourself).

Nymphomaniac terbagi menjadi dua chapter, chapter I adalah kisah si Joe waktu muda, dan chapter II adalah kisah Joe setelah dewasa. Film ini berdurasi 5 1/2 jam (versi uncut) dan 4 jam (versi normal). Durasinya memang sepanjang itu. Film ini memang semacam mengisahkan dengan detail bagaimana kisah hidup seorang Joe, yang kebetulan seorang nympho alias pecandu sex. Mulai dari kehidupan keluarganya, bagaimana masa remajanya, hingga bagaimana ia akhirnya menikah. Kalau dipikir-pikir sebenarnya adanya 2 chapter di film ini hampir mirip dengan 
Blue Is The Warmest Color (2013) yang juga terbagi menjadi 2 bagian, apalagi kedua film ini sama-sama berdurasi panjang, punya tokoh utama wanita, dengan kisah yang agak nyerempet. Bedanya satunya lesbian, satunya nympho.

Banyaknya review lumayan positif dari banyak orang membuat saya berharap lebih pada film ini. Harapan itulah yang kemudian terjun dengan bebas ketika saya menontonnya.

THE GOOD PART:

Nymphomaniac : Volume I adalah bagian yang lebih baik dibandingkan dengan bagian keduanya. Lars Von Trier memasukkan unsur-unsur puitis di saat Joe bercerita tentang kehidupan percintaannya yang liar.  Pada Volume I, Lars Von Trier menuturkan metafora - metafora yang cukup menarik dari kehidupan Joe. Sebagai contoh: ketika Joe bercerita bagaimana dia "hunting" pria, dan si kakek Seligman, diperankan Stellan Skaarsgard (bapak mertua saya, by the way :p) malah seenaknya membandingkan proses berburu Joe dengan bagaimana ia memancing ikan. Lars Von Trier juga mengubah seluruh chapter kisah Joe saat ayahnya masuk rumah sakit menjadi warna hitam-putih, yang tampaknya menjadi simbolisme kerisauan hatinya. Unsur - unsur puitis ini begitu artistik dan cukup indah, menjadikan Nymphomaniac arthouse movie yang cukup menarik.

THE BAD PART :

Temanya yang kontroversial saja sudah jelas menunjukkan bahwa ini adalah film dengan target audiens yang segmented. I'm already prepared when a black scene appeared on screen with a backsong from hard-core band Rammstein, titled Führe mich. Saya bukan art-movie fans, tapi setidaknya saya punya semacam toleransi yang cukup tinggi untuk film-film begini. Tapi Nymphomaniac ini membosankan setengah mati.

Sebenarnya bukan terhubung juga sih, emangnya saya nympho. Tapi bagaimana film ini tidak memiliki kedalaman emosi yang saya harapkan. Saya tidak tahu apakah saya harus kasihan, sedih, benci atau tidak dengan karakter Joe. Joe adalah seorang pecandu seks, tapi ia tidak kelihatan menikmati hubungan seks itu sendiri. Dan ini agak membingungkan. Kisahnya juga terasa dibuat-buat. Nymphomaniac juga dipenuhi oleh dialog-dialog yang menjemukan, terutama percakapan antara Seligman dan Joe. Percakapan ini menarik mungkin buat sebagian orang, tapi gatal sekali tangan saya untuk mencet tombol mempercepat film. Dan demi Tuhan, film ini berjalan 4 jam! Itupun versi yang sudah dipotong!.

Saya juga agak dibikin sebel sama akting Stacy Martin (sebagai Joe muda) yang agak mengganggu. Entahlah, saya merasa Stacy Martin bukanlah the next Jennifer Lawrence. Ia mungkin berakting dengan baik saat berpura-pura orgasme, tapi ketika berakting di adegan lainnya aktingnya terasa agak datar. Saya juga merasa ada aura mengganggu pada Charlotte Gainsbourg yang berperan sebagai Joe dewasa, entah karena apa. Mungkin karena karakterisasi Joe sendiri yang ngambang. Perbedaan usia dan muka (dan tubuh) antara Joe muda dan Joe dewasa juga terasa mencolok. Aura keduanya juga terasa sangat kontras dan tidak terlihat sebagai orang yang sama. Stacy Martin sebagai Joe muda masih agak fun and wild, sedangkan aura Charlotte Gainsbourg terasa sangat kelam dan depresif.

THE WORSE PART :

Bagian paling buruk dari semua kisah Joe ini tentu saja adalah endingnya. Buat yang sudah nonton pasti tahu apa yang saya maksud. Ketika adegan akhir ini muncul saja seolah-olah ingin berteriak "Are you fcking kidding me?!".This ending ruin my mood, ruin the whole story, ruin everything. Seperti menjadi sebuah penutup yang terasa murahan. Ini ending paling menyebalkan yang pernah ada, karena saya terpaksa melihat kemaluan kakek-kakek(Saya tahu pake teknik body double, but still Anyway, how about the sex-scene? 

This movie is about sex-addiction, jadi wajar kalo kamu akan melihat banyaknya adegan seks di film ini sendiri. Tapi bukan berarti Nymphomaniac menjadi film porno, sebaliknya adegan seksnya tidak terlalu vulgar kok, walaupun bagian yang menunjukkan kemaluan para pemainnya terlihat dengan jelas dan petualangan seks Joe yang liar melibatkan cerita seks yang provokatif: mulai dari oral seks, (hampir) threesome dengan pria dari ras yang berbeda, hingga masokis. Walaupun tidak kelewat porno, tapi ini jelas bukan film yang bisa kamu tonton bersama orangtuamu, bahkan atas nama seni atau apapun, kecuali kalau kamu ingin terjebak di awkward situation. 

Kesimpulan :

Nymphomaniac: Volume I adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah sebuah penggambaran dari salah satu hal kejam yang eksis di dunia, yang tumbuh di dalam tubuh setiap manusia, obsesi pada kenikmatan yang dapat membawa manusia itu menuju sisi kelam yang menjadikan mereka merasa sebagai sosok yang buruk. Sebuah observasi yang menarik, sisi erotis yang tidak berlebihan, emosi yang mumpuni, namun hadir dengan dinamika penceritaan yang kurang bergairah dan terasa terlalu tenang. Sebuah eksplorasi pada hubungan antara seks dan cinta dalam nada depresif dari seorang Lars von Trier. Let’s go see Daddy’s favourite place!

Nymphomaniac: Volume II adalah film yang kurang memuaskan. Hal-hal yang menjadikan babak pertamanya terasa menarik hadir dalam kapasitas yang jauh lebih kecil bahkan beberapa diantaranya menghilang. Obsesi pada seks itu masih ada namun cara ia dibangun yang tidak mampu menyajikan sebuah hiburan yang sama baiknya dengan apa yang diberikan babak pertama. Kurang menyenangkan, terlalu tenang, minim emosi yang mampu membangun koneksi penonton dengan karakter lewat ironi, terus bergerak liar tapi dalam sebuah struktur yang tidak berhasil menciptakan sensasi yang kuat. Sedikit monoton.


Daftar Pustaka
http://rorypnm.blogspot.co.id/2014/05/movie-review-nymphomaniac-volume-ii-2014.html
Share:

Awanto Rismawan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.